![]() |
SBY dengan kain Tenun kain Tenun Ikat Sumba |
Kerajinan tenun Nusa
Tenggara Timur merupakan aset budaya luar biasa. Selain beragam motifnya, proses
pembuatannya pun tak sembarangan, yaitu melalui proses ritual (doa sakral). Kain
tenun Timor - NTT bukan sekadar kain biasa, melainkan juga
memiliki jiwa.
Ketika melewati kampung
tua As Manulea di Kecamatan Sasita Mean, Kabupaten Belu, NTT, misalnya, tim
Kami bertemu dengan para perajin yang membuat kain tenun dari benang yang
mereka pintal sendiri.
Ketika melewati kampung
tua As Manulea di Kecamatan Sasita Mean, Kabupaten Belu, NTT, misalnya, tim
Kami bertemu dengan para perajin yang membuat kain tenun dari benang yang
mereka pintal sendiri.
Pada era 1990-an,
kegiatan memintal masih terlihat di mana-mana, terutama saat para wanita
pergi-pulang dari pasar. Sambil berjalan kaki, dengan junjungan di kepala,
mereka memintal benang dari kapas. Kini, kegiatan memintal benang seperti itu
sudah langka ditemui di NTT karena tergusur benang industri.
Perempuan As Manulea itu, Lenci Abuk (38), tekun memintal benang dari abas (kapas lokal). Di samping dia, Natalia Kole (52), bersama seorang wanita sebaya dibantu seorang pria, membenahi seperangkat alat tenun kuno yang disebut bninsa.
Perempuan As Manulea itu, Lenci Abuk (38), tekun memintal benang dari abas (kapas lokal). Di samping dia, Natalia Kole (52), bersama seorang wanita sebaya dibantu seorang pria, membenahi seperangkat alat tenun kuno yang disebut bninsa.
Menurut Rosalina Lotu,
seorang penenun, tais atau bête (selendang untuk pria) dari benang lokal
harganya mahal, paling murah Rp 5 juta per lembar. ”Saya menanam kapas di
pekarangan. Hasilnya sangat terbatas. Kalau menenun dengan benang dari kebun
sendiri, harus menunggu bertahun-tahun hingga cukup untuk selembar kain,”
katanya.
Di Ende, ada jenis
kain tenun yang tidak bisa sembarangan dipakai. Kain itu hanya dibuat oleh
kalangan tertentu, seperti keluarga tetua adat (mosalaki). Menurut Kepala
Museum Tenun Ikat di Ende, Ali Abubakar Pae, pembuatan kain tenun ini umumnya
dilakukan secara rahasia dan disertai ritual khusus.
”Umumnya masyarakat
Ende di pesisir selatan memanjatkan doa khusus itu pada malam hari di dalam
rumah,” kata Ali.
Ali mengibaratkan
menenun seperti membuat keris di Jawa. Kekuatan supranatural dari roh-roh
leluhur akan menjiwai kain tenun.
Ada ungkapan dalam
bahasa Sikka, Ami nulung lobe. Naha utang wawa buku ubeng. Naha utang merah
blanu, blekot (Kami tidak memakai sarung murahan, harus sarung dari dasar
tempat simpan, harus sarung yang merah, mantap, dan bermutu).
Ungkapan itu
mengandung pengertian, sarung yang dikenakan seorang perempuan menunjukkan
kepribadian pemakainya. Sarung yang dipakai bukan sarung biasa. Ini menunjukkan
pemakainya bukan sembarangan, melainkan orang berwibawa, bermutu, dan
berkepribadian baik.
Selain prosesnya
panjang dan rumit, motif tenun NTT unik dan beragam. Hampir semua daerah di NTT memiliki kerajinan tenun.
Johanna Maria Pattinaja (73), istri almarhum Frans Seda, telah mengumpulkan
sekitar 1.000 kain tenun ikat NTT, dari Pulau Timor, Sumba, sampai
Flores.
Penelitian Romo Bosco
Terwinju Pr (72) dari Keuskupan Agung Ende memperkuat hal itu. Untuk satu
wilayah di Pulau Flores misalnya Sikka, ia mengoleksi sekitar 50 jenis kain
tenun ikat. ”Motif kain tenun di NTT sangat banyak, berbeda-beda
antarkabupaten,” katanya.
Hasil penelitian Romo
Bosco di Pulau Flores, ada dua kategori tenun, jenis ikat tradisional dan sulam
songket. Tenun ikat menyebar dari Flores bagian tengah, dari Kabupaten Ende
hingga Kabupaten Flores Timur sampai Lembata. Adapun tenun sulam songket banyak
dibuat dari Kabupaten Nagekeo sampai Kabupaten Manggarai Barat.
Warna kain tenun ikat dihasilkan dari pewarnaan kain, baik dengan bahan alam (mengkudu atau nila)
maupun bahan kimia. Warna kain tenun sulam dihasilkan dari proses penyulaman
benang beraneka warna.
Menurut Romo Bosco,
motif kain tenun di Flores berdasarkan catatan sejarah merupakan turunan dari
motif Patola, India, seperti gajah, bunga atau burung, yang kemudian berkembang
dengan beragam variasi.
Tenun Kali Uda
Salah satu tenun NTT
yang terkenal berasal dari Kali Uda di Pulau Sumba. Desa ini terletak 120
kilometer selatan Waingapu, Sumba Timur. Kualitas tenunan Kali Uda dianggap
tertinggi karena lentur, tidak luntur, ringan, dan dapat dibuat menjadi
pakaian.
Warna dasar tenun Kali
Uda adalah merah, putih, dan hitam. Ragam motif biasanya ayam, burung, kuda,
kerbau, sapi, serta mamuli (perhiasan berbentuk rahim perempuan).
Selain menjadi mahar
kawin yang bernilai tinggi di kalangan warga Sumba, tenun ikat Kali Uda
diminati turis asing. Bahkan di Denpasar, Bali, ada toko khusus yang menjual
tenun Kali Uda. ”Meski harganya mahal, turis Jepang belanja sampai ratusan
lembar,” kata Jery Nola (29), seorang pria perajin.
Harga selembar kain Tenun Kali Uda berukuran 1,7 meter x 2,3 meter Rp 800.000-Rp 25 juta per lembar,
tergantung motif, tingkat kesulitan menenun, pewarna, dan kualitas benang.
Sayangnya, menurut
Kepala Desa Kali Uda, Umbu Yiwa Hanggi, belum ada organisasi yang memayungi tenun
ikat Kali Uda. Padahal, 90 persen warga Kali Uda adalah penenun.
Perkembangan tenun NTT
menghadapi tantangan yang tidak ringan. Desakan ekonomi yang semakin berat
memaksa penenun meninggalkannya.
Di Kali Uda, misalnya,
sampai hari ini belum ada pemasaran yang masif atas hasil kerajinan masyarakat
itu. Gagal panen dan kemarau panjang yang sering melanda pantai selatan Sumba
Timur memperberat kondisi mereka. Kalau dulu, hasil panen bisa mengisi
kekosongan pendapatan mereka; kini, pertanian tidak bisa lagi diandalkan.
”Tahun 2007 masyarakat
pernah menyampaikan aspirasi melalui musyawarah rencana pembangunan desa agar
dibangunkan sebuah pusat kerajinan tenun ikat di sini. Kemudian, hasil
kerajinan masyarakat ditampung Dinas Perindustrian dan Perdagangan untuk
dipasarkan ke luar Sumba. Tapi, belum ada tanggapan,” kata Umbu Yiwa.
Sejauh ini jajaran pegawai negeri sipil
di NTT diwajibkan memakai baju tenun Timor dua kali dalam seminggu, setiap Rabu dan Jumat. Kalangan penenun termasuk
pemilik sentra kerajinan tenun daerah Ina Ndao, Dorce Lussi, di Kupang
mengharapkan kebijakan wajib berpakaian tenun jadi empat kali seminggu. Dengan
demikian, pasar tenun ikat NTT semakin terbuka.
Diposkan oleh Om Bani on Sabtu, 06 Agustus 2011
Keren keren yaaa kain ikatnya kami juga ada tas ikat
BalasHapusYuk, mampir juga ke angsa dua